GUIDE NAIK GUNUNG # MERBABU # LAWU # PRAU # SEMERU # DST # 085.643.455.685 # 7A722B86

Kami adalah salah satu penyedia jasa layanan pemandu dan event organizer naik Gunung di Pulau Jawa. Kami juga menyediakan beberapa jadwal pendakian yang bisa diakses dan diakses dalam website ini. Gunung yang sering kami kunjungi diantaranya Gunung Merbabu, Gunung Prau, Gunung Lawu, dan lainnya.

GUA PINDUL # RAFTING OYA # OFFROAD # GUA INDAH # GUA SI OYOT # 085.643.455.685 # 7A722B86

Kami adalah salah satu agen resmi reservasi Gua Pindul, Rafting Oya dan Off Road. Keuntungan reservasi melalui kami ialah mendapatkan penawaran terbaik dari kami dan tanpa antri. #Pemandu Lokal #Transport Lokal 'PAJERO' #Ban #Pelampung #Asuransi #Wedang Pindul #Toilet Banyak #Parkiran Luas

TELAGA WARNA # KAWAH SIKIDANG # GUNUNG SIKUNIR # 085.643.455.685 # 7A722B86

Dieng Plateau mempunyai potensi alam yang luar biasa indahnya sehingga sangat kami sarankan untuk mengunjunginya. Selain Telaga Warna, Kawah Sikidang dan Candi Arjuna dalam beberapa bulan terakhir baru booming Gunung Sikunir dan Gunung Prau

RESTO INDRAYANTI # MALIOBORO # PRAMBANAN # BOROUBUDUR # 085.643.455.685 # 7A722B86

Resto Indrayanti merupakan obyek wisata baru yang sekarang menjadi tujuan wisata di Yogyakarta. Malioboro menjadi tujuan akhir wisata belanja. Mari yang berminat mengunjungi segera menghubungi admin.

AVANZA # INNOVA # ELF # ELF LONG # HIACE # BIG & MICRO BUS # 085.643.455.685 # 7A722B86

Kami mempunyai berbagai macam armada dengan harga bersahabat. Kami menyarankan bagi calon wisatawan apabila hendak mencari armada untuk liburan direncanakan jauh jauh hari guna mendapatkan pelayanan yang terbaik dari kami.

Pendakian Gunung Kerinci 3.805 MDPL

Tidak ada komentar
Pendakian Gunung Kerinci 3.805 MDPL
Berteman Maut Menuju Puncak Api Tertinggi 

Yunaidi Joepoet
Saya tak tahu apa lagi yang akan saya lalui di depan. Jalur setapak yang saya lewati tak layaknya jalur pendakian pada umumnya, namun lebih seperti sungai kecil. Ponco yang saya gunakan tak sanggup membendung air yang semakin kencang membasahi sekujur tubuh. Pun demikian dengan tas ransel berukuran 85 liter berisi beragam macam peralatan pendakian yang saya panggul layaknya memanggul batu. Langkah kaki saya semakin layu karena sepatu yang penuh air. Dalam titik yang sudah mendekati kata menyerah tiba-tiba "Duaaaaaaarrrrrr...", letusan petir menyambar pohon yang jaraknya hanya beberapa meter dari jalur yang saya lewati. Sekarang saya berteman dengan maut, seorang diri di tengah rimba yang semakin suram.

Gunung Kerinci, Danau Kerinci, Danau Gunung Tujuh, Danau Kaca, Danau Kaco, Kersik Tua, Kayu Aro, Desa Pelompek, Tea Plantation, Kebun Teh Kayu Aro, Sungai Penuh, Puncak Indrapura, Orang Pendek, Mount Kerinci, Bukit Barisan; Mount; Hill; Gunung Kerinci; Gunung Tujuh; Mount Kerinci; highest volcano in indonesia; foto gunung; mountain photo; above the clound; kersik tuo; jambi; sumatra; kerinci seblat; taman nasional; layer; morning; sunrise; indonesia; landscape indonesia; travel photo; mounteiner; adventure; aerial photography; city; gunung kerinci; pendakian gunung; gunung tujuh; pegunungan bukit barisan; Indonesia Mountain; Ring of Fire; Cincin Api; Mount; Gunung Indonesia; Mountain in Indonesia; Active Volcano; Eruption; Climber
Pemandangan dari atas puncak Gunung Kerinci setinggi 3.805 meter dengan latar Danau Gunung Tujuh dan barisan Pegunungan Bukit Barisan. © Yunaidi Joepoet

Ini hari terakhir saya diumur 21, saat saya merasa maut hanya berjarak beberapa depa dari tempat saya berjalan merangkak, hari yang paling menakutkan selama saya terlahir di dunia. Akankah nafas saya berakhir beberapa jam saja sebelum pertambahan umur? Di tempat ini, jalan menuju puncak Gunung Kerinci, titik gunung api tertinggi di Indonesia, saya sadar bahwa hanya tekad, semangat, motivasi dan kepercayaan terhadap diri sendiri serta Sang Pencipta yang mampu memupuskan ketakutan untuk menggapai impian dan sesuatu yang kita percayai bahwa kita bisa melakukannya.

Saya bukan pendaki profesional, bukan pula anggota dari kelompok pecinta alam, juga tak lahir dari keluarga berlimpah materi. Saya hanya pemuda dari desa kecil di pedalaman Sumatra Barat yang berteman dengan alam, sungai, sawah, dan kerbau sedari bocah. Menginjak kaki di perguruan tinggi, saya semakin senang membaca kisah-kisah petualangan. Meskipun fisik saya tak begitu bagus untuk menjadi petualang seperti Edmund Hillary ataupun Colombus, namun tak ada salahnya membaca kisah-kisah mereka. Untuk sebuah perjalananpun kerja serabutan dan menulis serta memotret saya jalankan untuk mendanai pundi-pundi untuk perjalanan berikutnya.




Wawan beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pendakian menuju puncak Gunung Kerinci. © Yunaidi Joepoet
Saya menyenangi kisah-kisah petualangan yang ditulis oleh Norman Edwin dan juga Soe Hok Gie. Meskipun keduanya bernasib sama, menghembuskan nafas terakhir di puncak gunung, setidaknya dari kisah mereka saya percaya orang-orang baik dan jatuh cinta akan gunung berpulang di tempat yang dicintainya pula. Gunung adalah salah satu tempat paling baik di muka bumi, beberapa kelompok masyarakat dan kepercayaan di berbagai penjuru dunia mengkultuskan gunung sebagai tempat suci. Lihatlah Gunung Kailash setinggi 6.638, tempat suci empat agama. Pemeluk Buddha Tibet menyebutnya Kang Ripnpoche, Permata yang Mulia. Tapi di gunung ini, tempat petir dan maut berjarak hanya beberapa depa, saya tak berharap nasib saya sama seperti Soe Hok Gie ataupun Norman Edwin.

***
Hamparan kebun teh menjadi sajian utama saat saya keluar dari penginapan pagi itu. Tadi malam setelah menempuh perjalanan panjang dari Pekanbaru, saya bersama seorang kawan yang sudah mendaki Pegunungan Himalaya, Micah Hanson tiba di Kersik Tuo. Desa kecil ini ibarat nirwana, yang kurang hanya aliran sungai. Namun tanpa sungaipun saya tetap merasa kedamaian yang nyata, apa yang surga janjikan kepada umat manusia.

Hamparan kebun teh tua yan juga hampara kebun teh terluas di dengan dengan latar Desa Kersik Tuo di kanan dan Gunung Kerinci di kejauhan. © Yunaidi Joepoet
Begini, penginapan saya terletak di tepi jalan lintas Padang-Sungai Penuh. Beberapa pendaki dari dalam ataupun luar negeri biasanya menginap disini sebelum memulai pendakian, namanya Homestay Paiman. Namun tak jauh dari Homestay Paiman, seorang pemuda Kersik Tuo membuka rumahnya secara sukarela untuk diinapi oleh para pendaki. Untuk mendaki Gunung Kerinci, beberapa pendaki lebih memilih untuk masuk dari Padang dibanding Jambi, alasannya karena jalur yang lebih pendek, pemandangan nan menawan, dan juga langsung tiba di desa terakhir sebelum pintu pendakian ke Gunung Kerinci. Di seberang penginapan saya, hamparan kebun teh yang sungguh sangat luas terhampar bak permadani. Saya berjalan ke bukit kecil yang tak jauh dari penginapan, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya hamparan kebun teh dengan latar Gunung Kerinci setinggi 3.805 meter menyangga langit.

Kabut pagi menyeruak saat sinar matahari menghangatkan Kersik Tuo yang terletak di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut. Desa ini berhawa sejuk, atau lebih tepatnya dingin bagi saya yang terbiasa hidup di suhu 33' celcius setiap harinya. Aktivitas warga desa belum berjalan seutuhnya meskipun jarum jam di tangan saya sudah menunjukkan pukul tujuh. Mayoritas warga desa ini hidup sebagai petani dan juga pekerja di perkebunan teh yang dimiliki oleh PTP Nusantara VI. Lahan kebun teh di Kersik Tuo yang jadi bagian dari Perkebunan Teh Kayu Aro memiliki luas 2.500 hektare dan menghasilkan daun teh berkualitas juara sejak zaman Belanda masih menduduki Indonesia. Teh terbaik yang dihasilkan dikirim ke Belanda untuk diseduh sebagai minuman sang Ratu Belanda. Perkebunan teh tua ini merupakan perkebunan teh terluas di dunia dalam satu hamparan.

Memenuhi impian dan janji saya untuk mendaki gunung api tertinggi di Indonesia, saya menginjakkan kaki kembali di Kersik Tuo ini. Beberapa waktu lalu, bersama dua orang kawan, saya mendaki Danau Gunung Tujuh yang dikelilingi oleh tujuh puncak gunung. Kami terengah-engah menembus kegelapan malam saat berjalan dari pintu pendakian menuju tempat berkemah di tepi danau. Butuh waktu lima jam bagi kami malam itu untuk tiba di tepi Danau Gunung Tujuh.

Meskipun tak berpengalaman dalam mendaki gunung di atas ketinggian 3.500 meter, namun melihat Kerinci saat perjumpaan kami pertama kali telah menautkan batin saya dengan gunung ini. Kepundannya yang rusak akibat letusan membangkitkan mimpi-mimpi saya sebagai anak muda untuk berlutut di puncaknya. Tapi apa mungkin dengan fisik yang tak perkasa saya bisa mendakinya? Setidaknya, motivasi ini semakin kuat saat saya berjanji untuk bisa melakukannya. Saya orang yang tak suka perayaan, tapi menginjak umur yang ke-22, saya bulatkan tekad untuk mendekatkan diri dengan alam, ibu dari segala kehidupan. Juga Azim, teman pendakian saya ke Gunung Tujuh. Kami sama-sama berjanji untuk mendakinya untuk merayakan apa yang kami yakini sebagai titik terbaik untuk merencakan kehidupan masa depan. Saya memasuki umur baru, Azim dan dua temannya merayakan kelulusan, Micah menggapai puncak api tertinggi di Indonesia sesuai dengan apa yang direncanakannya saat kami bertemu pertama kali di Pekanbaru.

***

"Gimana, kito menginap dulu di pintu rimba?" tanya Azim ke Wawan.
"Bolehlah. Sudah terlalu malam kalau dipaksakan naik ke Shelter II jam segini," Wawan mengiyakan ide Azim untuk mendirikan tenda di Pintu Rimba.

Simpang Tugu Macan dengan latar perkebunan teh dan Gunung Kerinci saat pagi hari. Dari tugu ini, perjalanan harus dilanjutkan menuju Pos Pendakian. Gunung Kerinci merupakan habitat harimau sumatra yang populasinya semakin terancam. © Yunaidi Joepoet
Kami membuka tenda di kiri jalur. Tempat ini lumayan untuk menampung dua tenda. Malam pertama pendakian, kami berjalan tak terlalu jauh, hanya melewati perkebunan penduduk hingga ke pintu rimba. Malam itu, dendeng yang kami beli di warung dicampur mie rebus menjadi penyumpal perut yang mulai keroncongan. Selanjutnya kopi dan teh hangat menemani obrolan kami malam itu, bercerita tentang apa saja yang membuat suasana hangat hingga perbincangan pun ditutup saat rasa kantuk telah tiba.

Malam pertama pendakian ke Gunung Kerinci berjalan lancar. Pukul lima subuh, senandung burung membangunkan kami. Udara sejuk menyambut wajah saya saat membuka tenda, penuh dengan oksigen nan segar saat menghirup udara pagi di bawah pohon nan rimbun. Meskipun tenda sebelah terdengar kisruh, "Oi, siapa yang kentut nih. Busuk!." Saya bersoloroh, "Panggilan alam datang lebih awal ya kalau di gunung, hahaha."

Hari ini target kami adalah tiba di Shelter 3, tempat yang kami rencanakan untuk mendirikan tenda dan bermalam sebelum menuju puncak Gunung Kerinci. Bagi para pendaki, selain Shelter 2 untuk mendirikan tenda, Shelter 3 menjadi salah satu tempat yang sering dijadikan titik berkemah sebelum mendaki menuju puncak Gunung Kerinci. Tepat pukul delapan pagi, kami berdoa dan meminta izin kepada Penguasa alam semesta agar dilindungi dalam pendakian ini.

Kami sekarang meninggalkan ketinggian 1.692 meter, Pos Pintu Rimba. Dari Pintu Rimba, jalan setapak berpayung pepohonan nan rimbun kami lalui dengan nyaman. Jalan landai dengan kontur tanah lembab menemani perjalanan menuju Pos I. Beberapa kali kami berselisih dengan para pemburu burung yang menggunakan senapan. "Sudah tau dilarang menembak, masih saja menembak," ujar Azim sewot saat kami berselisih dengan pemburu yang berusaha menyembunyikan senapan anginnya.

Perburuan burung dan perambahan hutan memang menjadi masalah di kawasan yang masuk ke area Taman Nasional Kerinci Seblat. Taman nasional seluas 1.386.000 hektar ini adalah rumah bagi 4.000 spesies tumbuhan, termasuk bunga Rafflesia arnoldi dan Titan arum. Disini hidup pula harimau sumatra yang populasinya kian terancam, Badak Sumatra, Gajah, Macan Dahan, Tapir Melayu, Siamang, Beruang Madu, dan sekitar 370 spesies burung berbulu indah dan bersuara merdu. Bersama dengan Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Kerinci Seblat dinobatkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.

Pos Batu Lumut (kiri). Gunung Kerinci yang masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat adalah rumah baru sekitar 371 spesies burung. © Yunaidi Joepoet
Cantigi diketinggian 3.600 meter (kiri). Jalur pendakian dari Shelter 3 menuju puncak Indrapura, Gunung Kerinci. © Yunaidi Joepoet

Saya merasa beruntung sedang berusaha mewujudkan impian dan angan saya menjelajah tempat ini. Perjalanan kami terhenti di Pos II Batu Lumut, kami beristirahat sejenak. Saya memanfaatkan waktu untuk mengisi botol air minum sembari melipir ke tubir tebing yang berbatasan langsung dengan jurang yang dalam. Suara siamang saling bersahutan saat saya melipir ke tubir jurang. Pos ini menjadi tempat perlintasan Harimau Sumatra yang semaki sulit saja ditemui karena habitat hidupnya yag semakin berkurang.

Dari Pos II menuju Pos III, jalanan mulai menanjak. Perjalanan menuju Pos III ini kami tempuh dalam waktu satu jam. Wawan dan Micah berjalan kencang. Wawan tak membawa barang banyak, hanya tas berukuran 40 liter. Micah Hanson, pria bergelar PhD dari Nortwestern University di Amerika Serikat ini tentu dengan mudah melahap setiap tanjakan mengingat tubuhnya yang hampir setinggi dua meter. Saya terengah-engah memanggul barang bawaan dalam pendakian kali ini. Sementara Azim yang berbadan gempal tertinggal di belakang. Kami berjarak satu sama lain. "Jalur pendakian Gunung Kerinci cuma satu jalur. Tinggal ikuti saja jalur jalan setapak," tutur Azim yang sudah beberapa kali mendaki Gunung Kerinci.

Kami kembali bertemu di Pos III, di tempat ini sebuah pondok sederhana biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat. Selang beberapa menit kami melanjutkan perjalanan ke Shelter I dengan ketinggian 2.512 meter. Tanjakan demi tanjakan tanpa bonus mendatar menjadi sajian utama untuk kami lewati. Pegal di pundak pun lutut semakin terasa. Dari Pos III menuju Shelter 1, perjalanan kami tempuh sekitar satu jam. Setibanya di Shelter 1, gerimis mulai datang.

Memandangi juram nan dalam saat pendakian di Gunung Kerinci. © Yunaidi Joepoet
Dari Shelter 1, kami berusaha memacu langkah dengan cepat. Dalam perjalanan, gerimis sudah mulai berganti dengan butiran hujan. Saya mengeluarkan beberapa perlengkapan untuk menghadapi hujan saat pendakian. Penutup tas ransel dipasangkan, ponco juga sudah disiapkan untuk menghadapi hujan lebat yang segera datang. Kali ini saya tertinggal jauh dari Micah dan Wawan, pun begitu dengan Azim yang berjalan beberapa belas menit di belakang sayang.

Hujan turun semakin beringas. Butiran-butiran sebesar kelereng terasa sakit saat mengenai tubuh saya yang sudah berpenutup ponco. Saya tetap berjalan mengikuti jalanaan setapak ditengah hujan yang kita lebat. Tujuan saya hanya satu, terus melewati jalur setapak dan tetap bergerak. Jika berdiam diri, saya takut gejala dingin menyerang tubuh. Ini sangat berbahaya saat pendakian jika saya mengalami hipotermia.

Saya tak tahu apa lagi yang akan saya lalui di depan. Jalur setapak yang saya lewati tak layaknya jalur pendakian pada umumnya, namun lebih seperti sungai kecil. Ponco yang saya gunakan tak sanggup membendung air yang semakin kencang membasahi sekujur tubuh. Pun tas ransel berukuran 85 liter berisi beragam macam peralatan pendakian saya panggul dengan rasa berat seperti memanggul batu. Langkah kaki saya semakin layu karena sepatu yang penuh air. Dalam titik yang sudah mendekati kata menyerah tiba-tiba "duaaaaaaarrrrrr...", letusan petir menyambar pohon yang jaraknya hanya beberapa meter dari jalur yang saya lewati.

Saya ketakutan, tubuh saya bergetar. Untuk pertama kalinya saya merasakan ketakutan yang luar biasa dahsyatnya. Tangisan saya pecah diantara deru hujan yang terasa mencekam saat saya melewati hutan yang semakin suram. Petir saling bersahutan dan letupannya hanya berjarak beberapa meter saja dari jalur yang saya lewati. Ini pertama kali dalam hidup, saya merasakan maut begitu dekat. Maut hanya berjarak beberapa meter dari tempat saya berjalan.

Saya yakin ini pula yang dirasakan para pendaki dan sherpa di Everest saat mendengar avalans bergemuruh menimpa mereka. Bunyinya yang laksana letusan bom atom telah membuat bulu kuduk merinding. Setidaknya saya dan pendaki-pendaki lainnya pernah merasakan rasa takut, mencekam, dan 'gila'-nya kita tau hanya dua kemungkinan yang sedang akan terjadi dalam hidup kita saat pendakian gunung: hidup atau mati.

Saya ingin menyerah, tak ingin melanjutkan perjalanan. Mungkin berdiam diri lalu berbalik arah bagi sebagian orang adalah cara terbaik. Tapi ini tak ada di rencana saya, berdiam diri dan menyerah. Kekuatan saya waktu itu adalah saya sangat percaya saya akan baik-baik saja. Menyusuri jalur ini adalah kenikmatan dalam kesengsaraan. Nikmat bahwa saya bisa mewujudkan impian untuk mendaki gunung yang banyak diidolakan para pendaki di Nusantara, sengsara karena saya terlalu mem-push diri saya. Karena saya yakin, kita harus berusaha untuk menekan batas-batas yang selama ini kita yakini itulah batas yang bisa kita lakukan. Namun, walaupun saya berusaha mem-push diri saya sebegitu keras, saya yakin saya melakukanya dengan toleransi keselamatan. Saya tetap berjalan merskipun dalam hujan lebat serta angin kencang beserta petir, karena saya yakin titik toleransi dalam keselamatan saya masih pada lampu hijau. Penting sekali bagi kita untuk mengetahui hingga titik mana kita boleh mem-push kemampuan. Dalam beberapa pendakian yang berakibat fatal, seringkali orang terlalu menyia-nyiakan keselamatan karena berusaha mem-push diri mereka diluar ambang kemampuan.

 Saya tetap melahap tanjakan demi tanjakan meskipun dalam hujan. Hampir setengah jam perjalanan dirundung hujan lebat, akhirnya butiran air berganti gerimis. Saya tiba di Shelter II dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan. Pun begitu dengan teman pendakian saya yang lain.

Perjalanan yang paling menguras tenaga setelah diterpa hujan lebat dan petir yakni melewati celah sempit dari Shelter 2 menuju Shelter 3. © Yunaidi Joepoet

"Wawan, gimana perjalanan naiknya?" tanya saya saat kami sudah berkumpul semua di Shelter II. "Ngeri. Petirnya dekat sekali. Hujannya pun sungguh lebat."

"Wah parah memang. Jalannnya sudah kayak sungai," timpal Azim. Sementara itu Micah berusaha mengeringkan pakaiannya. "Kita berhenti dulu disini. Bisa rebus air dulu untuk seduh kopi," tambah Azim.

Kami beristirahat sembari membuat kopi dan teh hangat. Kabut semakin pekat saja menutup pemandangan. Perlahan-lahan menutupi lembah disisi kiri Shelter 2. Jarak pandang semakin pendek saja.

Kami merasakan dingin mulai menusuk tulang. Semua pakaian yang kami kenakan sudah basah kuyup. Awalnya kami kira akan baik-baik saja ternyata semakin membuat badan kami menggigil. Saya mengganti pakaian, pun begitu dengan teman-teman saya. "Bagaimana masih kuat untuk terus berjalan ke Shelter 3?" tanya Wawan. "Kalau aku sih masih kuat. Lebih baik kita lanjut ke Shelter 3, nenda disana." jawab Azim.

Bagi saya yang pertama kali mendaki gunung ini, "Dari sini ke Shelter 3 berapa lama?"

"Kalau jalan santai mungkin kita bisa sampai paling telat setengah tujuh lah. Masih cukup waktu untuk mendirikan tenda," ujar Azim.

Micah memilih untuk mengikuti kami saja. Wawan pun mengambil pertimbangan jika memikirkan waktu untuk menuju puncak,"Jika kita mendirikan tenda disini. Lama perjalanan menuju puncak mungkin bisa dua setengah jam. Kalau di Shelter 3 mungkin hanya sejam setengah sudah tiba kalau berjalan santai. Kita lanjut saja bagaimana?"

Kesepakatan pun didapat. Kita melanjutkan perjalanan dari Shelter 2 menuju Shelter 3, sesuai dengan rencana semula di Pintu Rimba. Perjalanan paling sengsara adalah dari Shelter 2 menuju Shelter 3. Jalur yang berupa celah parit sangat sempit membuat ransel kami beberapa kali tersangkut. Beberapa kali pula saya memanjat parit karena tidak muat untuk dilewati.

Tanah yang licin setelah hujan juga menjadi kendala kami saat melewati jalur ini. Pada ketinggian ini, vegetasi Gunung Kerinci berupa pohon-pohon yang mayoritas ditemukan pada gunung lain di Sumatra dan Indonesia pada umumnya.

Inilah tempat kami mendirikan tenda yang saya foto pada hari berikutnya. Saat terkena hujan disertai petir mahadahsyat, saya menyimpan rapat kamera dan baru mengeluarkannya saat pendakian Shelter 2 menuju Shelter 3. Lihatlah, jemuran darurat tempat kami menjemur pakaian. Juga payung warna pink milik Wawan. Micah tegak pinggang di kejauhan. Momen ini saya abadikan sebelum berkemas sebelum perjalanan turun. Semua peralatan pendakian yang basah kami jemur. © Yunaidi Joepoet

Kami tiba di Shelter 3 lebih cepat dari perkiraan. Gerak kami diburu oleh senja yang segera tiba. "Kita disini saja mendirikan tendanya. Lebih dekat ke sumber air," ujar Azim.

"Ayolah kita segerakan mendirikan tendanya. Takutnya nanti gelap. Lebih susah lagi kita," timpal Wawan.

Kami bergegas dalam kedinginan yang sangat. Hujan dari Shelter 1 menuju Shelter 2 menyisakan rasa dingin pada tubuh yang belum juga menghangat. "Grrr...rrr...rrr," suara gemetar dari mulut sembari tubuh digoyangkan, juga tangan yang diusap-usap menjadi aktivitas yang menyelingi kegiatan pendirian tenda.

Sungguh, saya merasa sangat kedinginan kali ini. Usai tenda didirikan dengan sempurna saya bersalin baju. Dilapisi baju 4 lapis dan celana 2 lapis tak mampu menghalangi dingin yang saya derita. Dinginnya sudah menusuk ke tulang. Jemari saya merasa sakit luar biasa. "Zim, numpang menghangatkan tangan ya di tendamu," saya memohon izin ke Azim untuk "membakar" tangan saya di atas api.

Segelas teh hangat dan mie instan sedikit memulihkan rasa dingin saya senja itu. Usai makan malam, masing-masing kami beristirahat. Saya satu tenda dengan Micah. Sepertinya tenda yang saya bawa terlalu pendek baginya.

Semakin malam, tubuh saya semakin bergetar karena rasa dingin yang semakin menjadi. Saya sudah melapisi tubuh, menutupi kaki, kuping telinga dan menyelinap dalam sleeping bag. Tapi itu belum juga membantu. "Kamu tak apa-apa?" ujar Micah menanyai saya.

"Micah, saya rasa saya bisa mati kedinginan. Dinginnya sampai ketulang," ucap saya pada Micah.

"Kau jangan bicara seperti itu. Sebentar, aku membawa jaket tebal di dalam ransel. Aku pakai saat pendakian di Himalaya," ujar Micah sembari sembari membongkar ransel seukuran lemari.

"Pakailah jaket ini. Ini sarung tanganku cukup untuk kembali menghangatkan tubuhmu," dia menawarkan saya jaket dan sarung tangan. "Tinggal beberapa jam lagi kau memasuki umur baru. Jadi, lebih baik kau bertahan. Aku tak ingin tidur disebelah orang yang sekarat," candanya.

Panorama Pegunungan Bukit Barisan. Lembayung pertama yang saya lihat pada umur 22 tahun. © Yunaidi Joepoet

Jaket dan sarung tangannya cukup membantu kembali menghangatkan tubuh saya yang sudah lemah. Perlahan saya bisa memejamkan mata dan beristirahat setelah perjalanan panjang melewati berbagai tanjakan dan hujan disertai gemuruh petir.

Ini malam terakhir saya tidur di umur 21. Malam diketinggian 3.320 meter sungguh jauh berbeda dengan malam-malam yang saya lalui sebelumnya. Tak ada kasur yang nyamar, hanya ada matras kusam  sebagai alas tidur. Sebelum tidur, tentu banyak harapan dan doa saya ucapkan dalam hati. Kadang di gunung kita bisa menjadi sangat melankolis. Saya tak tau apa pendaki-pendaki lain juga mengalami hal demikian. Saya terlelap tanpa melihat jarum jam.

Dini hari menjadi saat mengharukan, tak ada lilin ulang tahun, kue, ataupun ucapan selamat dari sang kekasih. Hanya ada secangkir kopi untuk diminum bersama, sahabat pendakian, dan lantunan doa dengan berbagai macam pengharapan. "Doanya yang banyak, mumpung di ketinggian. Jadi Tuhan dengar doanya lebih cepat," seloroh Azim saat saya berusaha memejamkan mata.

Setelah melewati kejadian yang berat di hari terakhir umur ke-21. Saya memulai hari baru dengan impian, doa dan harapan yang lebih besar. Mimpi adalah salah satu senjata terkuat untuk meyakinkan diri kita bahwa kita mampu untuk berbuat, bermanfaat, dan menginspirasi lingkungan-lingkungan terdekat. Dari pendakian ini, banyak pelajaran yang saya dapat. Saya percaya bahwa upaya mewujudkan impian dan cita-cita itu lebih indah dan nikmat dibanding impian dan cita-cita itu sendiri. Saya sangat percaya bahwa proses itu lebih penting dari hasil akhir. Setidaknya upaya-upaya yang saya lakukan baik sebelum dan saat pendakian adalah kisah kecil namun memberikan semangat dan pelajaran yang besar bagi diri saya sendiri. Kita kadang harus yakin dan mem-push diri kita untuk menggapai impian tersebut. Walaupun dimata orang impian saya memang sederhana, bersujud di puncak api tertinggi saat pergantian umur. Namun tak ada ukuran besar atau kecil sebuah mimpi, yang ada adalah seberapa keras usaha kita mewujudkannya. Mungkin ini pula yang dilakukan oleh orang-orang yang pantang menyerah. Walaupun jatuh beribu-ribu kali dalam usahanya, namun kata menyerah bukanlah akhir dari semuanya.


Matahari baru saja beranjak naik saat halimun menyeruak di atas Pegunungan Bukit Barisan. Dari jalur menuju puncak Gunung Kerinci, Danau Gunung Tujuh terlihat merekah diantara lanskap. © Yunaidi Joepoet

Sekarang saya sudah lewat setengah perjalanan untuk mewujudkan impian pendakian. Pagi tiba dengan sangat cepat, berbanding terbalik dengan langkah saya menuju puncak Gunung Kerinci. Terlalu berat mendaki dalam suasana yang teramat dingin seperti ini. Gelap ini hanya berteman dengan sinar senter yang menerangi ayun langkah saya. Sudah terlalu lambat untuk menginjakkan kaki di puncak Gunung Kerinci sebelum matahari terbit.

Di tengah perjalanan, semburat matahari telah memunculkan sinarnya. Rona biru yang merekah telah membelah Gunung Tujuh di seberang Gunung Kerinci. Kabutnya tak habis memayungi pegunungan Bukit Barisan. Sungguh, pagi pertama di umur saya yang ke-22 ibarat melihat sepenggal nirwana di dunia. Aduhai, nikmat Tuhan mana lagi yang tak saya dapati di ketinggian ini?

Saya terus berjalan merangkak di jalur yang menanjak curam. Untuk sekali tanah yang lembab membuat langkah saya cukup mudah. Saya tiba di Tugu Yudha saat hari sudah mulai terang. Tugu ini terletak di ketinggian 3.685 meter yang dibuat untuk mengenang pendakian yang hiland di Gunung Kerinci. "Hingga sekarang, Yudha tak pernah ketemu," ujar Azim. Saat saya tiba di Tugu Yudha. Kami berdoa singkat untuk para pendaki yang bersemayam di gunung ini.

"Ayo kita lanjutkan perjalanan ke puncak. Si Micah sudah tiba di puncak," ujarnya sambil menunjuk micah yang terlihat sangat kecil di atas sana. Dari Tugu Yuddha, satu tanjakan vertikal lagi harus diselesaikan. Terang begini, jalur sudah terlihat jelas, membuat kita semakin berat melangkahkan kaki.

"Ayolah! Saya pasti bisa," semangat saya dalam hati.

Masa-masa yang saya nantikan pun tiba. Puncak Gunung Kerinci hanya berjarak beberapa meter lagi dari tempat saya berdiri. Saya semakin bersemangat untuk menggapainya.

"Terima kasih Tuhan!," dalam kegembiran yang tak berlebihan saya lirih. Saya langsung bersujud di tanah tertinggi di Pulau Sumatra ini. Rasa syukur ini tiada habisnya saat mencapai puncak. Tak jauh dari tempat saya bersujud, lubang kawah yang dalamnya beberapa ratus meter menganga lebar.

Saya bersujud syukur sesaat menginjakkan kaki di puncak Gunung Kerinci. Terima kasih Tuhan untuk kesempatan mewujudkan mimpi dan mengenal lebih dekat salah satu karya ciptaan-Mu.

Micah Hanson, kawan kami yang menamatkan pascadoktoral-nya di Northwestern University, mewisuda Azim yang sedeang merayakan kelulusan. © Yunaidi Joepoet

Jauh diseberang, Danau Gunung Tujuh terlihat sangat indah. Juga hamparan kebun teh nan luas terlihat samar dari atas. Awan putih nan bersih berarak-arakan menutupi barisan pegunungan Bukit Barisan. Saya memandang kesekeliling, sungguh sangat luas dan indah. Hari pertama dalam umur baru yang sangat berkesan.

Micah mengambil beberapa foto diri saya. Azim pun tak mau kalah, dia bersalin pakaian dengan baju wisuda kebanggaannya. Kami merayakan semuanya dengan suka cita.

Namun dari pendakian ini kami merasa sangat kecil, tak ada apa-apanya dibandingkan dengan ciptaan Sang Maha Kuasa. Sungguh, rasa gamang berdiri di tubir kawah yang menganga besar telah menyadarkan saya bahwa inilah hidup. Tak ada yang perlu dibanggakan dengan ketinggian apapun bentuk ketinggian tersebut. Kita hanya butiran debu dibandingkan apa yang ada pada alam semesta. Namun bukan berarti butiran debu tak boleh bermimpi dan berusaha untuk mewujudkan semua impian.

Dari puncak Gunung Kerinci, saya meninggalkan pesan. Semoga kita bisa berpelukan kembali dengan kisah-kisah yang penuh kenangan pula. Terima kasih telah mengizinkan saya menunaikan ibadah impian saya, 3.805 meter di atas permukaan laut.

Micah berdiri di puncak Gunung Kerinci setinggi 3.805 meter yang juga tepat di tubir kawah Gunung Kerinci nan menganga besar. Di kejauhan, tepian barat Pulau Sumatra terlihat samar dibalik awan.  © Yunaidi Joepoet

***
Informasi Pendakian Gunung Kerinci
+ Untuk menuju Gunung Kerinci. Tersedia penerbangan dari Jakarta - Jambi dan Jakarta - Padang. Saran saya, ambillah penerbangan Jakarta - Padang untuk waktu tempuh yang singkat.
+ Angkutan umum berupa travel tersedia dari Padang ke Sungai Penuh dengan  tarif berkisar antara Rp 90.000 - Rp 120.000 tergantung musim keberangkatan. Lama perjalanan sekitar 7 jam. Mintalah turun di Kersik Tuo, desa terakhir sebelum pendakian. 

+ Beberapa penginapan tersedia di Kersik Tuo, salah satunya Homestay Paiman. Tarif penginapan sekitar Rp 80.000/malam. 

+ Di Kersik Tuo terdapat beberapa toko dan tempat makanan. Jadi jangan khawatir untuk perbekalan pendakian. Namun jika berangkat dalam rombongan besar, lebih baik membeli perbekalan di Padang.

+ Dari Desa Kersik Tuo menuju Pos Pendakian cukup memakan waktu jika berjalan kaki. Mintalah penduduk lokal untuk mengantarkan hingga Pintu Rimba, selain menghemat waktu juga menghemat tenaga juga ikut memberdayakan perekonomian lokal.

+ Untuk pendakian yang membutuhkan porter, tersedia pula porter dengan tarif bervariasi. Namun tarif normalnya berkisar Rp 250.000/hari. Selain di Homestay Paiman yang menyediakan porter, sekretatriat pendakian yang letaknya tak jauh dari Homestay Paiman juga menyediakan porter pendakian.

+ Hujan hampir turun setiap hari meskipun musim panas. Sebaiknya persiapkan peralatan pendakian yang cukup.

+ Jalur pendakian Gunung Kerinci mayoritasnya adalah pendakian menanjak saat naik dan curam saat turun. Persiapan fisik adalah salah satu cara untuk mengurangi kejadian yang tak diinginkan. Para pendaki luar biasanya menggunakan hiking stick untuk memudahkan saat turun.

+ Karena Gunung Kerinci merupakan kawasan Taman Nasional Gunung Kerinci dan juga Situs Warisan Dunia UNESCO, maka wajib bagi setiap pendaki untuk menjaga kelestariannya. Hindarkan sifat dan perilaku yang tidak terpuji seperti membuang sampah sembarangan dan mencoret-coret serta merusak alam. Pendaki yang baik selalu bersikap terpuji terhadap segala sesuatu ciptaan Tuhan.

+ Diluar tiket pesawat, biaya yang dihabiskan untuk mendaki Gunung Kerinci berkisar antara Rp 750.000 - Rp 1.500.000 tergantung gaya perjalanan dan lama waktu perjalanan.

Itenerary pendakian ke Gunung Kerinci (per hari) didasarkan pengalaman:
> Jakarta - Padang - lalu dilanjutkan naik travel malam dari Padang menuju Sungai Penuh.
> Mintalah turun di Kersik Tuo kepada supir travel. Biasanya travel melintasi Desa Kersik Tuo saat subuh. Aktivitas hari kedua bisa berkeliling kebun teh dan menyiapkan perbekalan pendakian. 
> Menginap semalam di penginapan ataupun rumah penduduk di Desa Kersik Tuo. 
> Bangunlah lebih awal, lalu mulai bergerak menuju Pos Pendakian untuk melapor. Lalu dilanjutkan treking menuju Shelter 3. Lama pendakian berkisar antara 9-11 jam untuk tiba di Shelter 3 dari Pintu Rimba.

> Pendakian menuju puncak Gunung Kerinci berkisar antara 1-2 jam tergantung kecepatan. Lalu sarapan pagi dan dilanjutkan perjalan turun kembali ke Desa Kersik Tuo. Malam hari bisa menginap kembali di Desa Kersik Tuo, atau bisa langsung mengambil travel kembali ke Padang. Namun harus dipesan terlebih dahulu
> Bisa mengunjungi pabrik pengolahan teh di Kayu Aro atau mengunjungi Kota Sungai Penuh, Ibukota Kabupaten Kerinci. Lalu mengunjungi Danau Kerinci. Jadi perjalanan akan komplit dari Gunung hingga Danau. Dan malamnya mengambil travel jurusan padang.

sumber : http://www.ranselkosong.com

Tidak ada komentar :

Posting Komentar