Sepuluh Hari Mendaki Puncak Jaya Wijaya
Sepuluh Hari Mendaki Puncak JayaWijaya
Tim Jejak Petualang Trans7 (Giri, Bayu, Budi, Cosmas, Dody, Une).
Ekspedisi Jayawijaya. Inilah Tim Jejak Petualang (JP) Trans7: Dina,
Dody, Budi, Cosmas, Giri, Bayu dan Une. Sungguh sebuah pengalaman yang
menakjubkan ketika kami mendapat kesempatan menjejakkan kaki di puncak
jaya. Jauh di ujung Timur Indonesia sana kami merayapi lereng selangkah
demi selangkah.
Kami memulai pendakian dari mil 64 (Pos Brimob) bersama delapan orang
Tim Brimob Papua dengan mengggunakan bus. Total perbekalan dan
peralatan pendakian yang kami angkut mencapai berat sektiar 700 kg.
Dengan bus kami menuju mil 68, Tembagapura (2.500 mdpl) . Setelah itu
perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan trem (kereta gantung) ke
kawasan Gressberg (3500 mdpl) selama lebih kurang 10 menit. Turun dari
trem rombongan diangkut lagi dengan bus menuju Zebra Wall diketinggian
3.800 mdpl.
Dari Zebra Wall inilah awal pendakian menuju Flaying Camp di Danau
Biru (3.900 mdpl). Di Danau Biru kita mendirikan tenda dan bermalam. Ini
dilakukan agar tubuh kami menyesuaikan diri dengan ketinggian yang
berkadar oksigen tipis. Memang sebaiknya tidak terlalu cepat mencapai
ketinggian tertentu. Idealnya, menurut buku, tiap naik 100 meter, harus
bermalam satu malam. Begitu seterusnya….
Dina (Medina Kamil) dan seabrek bawaan.
Suhu mulai terasa menggerogoti tulang. Siang hari suhu udara 10
derajat celsius, sementara malam lebih membuat gigil karena suhunya
hanya derajat celcius. Kalau anging berhembus…hiiiiiii…..brrrr…. Saat
malam hukan turun. Untung tenda dan flysheet sudah berdiri. Beberapa
teman tampak terdiam mungkin akibat serangan penyakit ketinggian. Aneh
memang, biasanya mereka ceria dan penuh canda. Dari pengalaman penyakit
ketinggian menyerang pendaki yang naik terlalu cepat . Baru tahu mereka
hehehe…
Pagi sekali kami sudah bangun. Langit tampak cerah. Tidak ada awan
yang menghalangi birunya langit. Kami bermandi cahaya matahari. Seluruh
peralatan, pakaian dan sleeping bag kami jemur biar tidak lembab dan
berat ketika dibawa. Setelah berkemas dan sarapan pagi, kamipun
melanjutkan perjalanan menuju base camp induk Lembah Danau-Danau (4200
mdpl).
Tanjakan terjal, pendakian yang berat.
Awal pendakian yang berat
Dody Johanjaya
Dina (Medina Kamil) dan seabrek bawaan.
Dina (Medina Kamil) dan seabrek bawaan.
Awal pendakian sungguh berat. Pagi-pagi kami sudah disuguhi tanjakan terjal dan panjang. Kami terengah dan nafas kami hanya satu dua. Jalan datar saja sudah menyesakan dada apalagi menanjak curam huh…..! Namun dengan semangat 45 teman-teman kru JP selangkah demi selangkah maju. Deru nafas kami memburu. Sesekali kami terbatuk. Pendakian yang berat . Hanya tatapan mata satu dengan yang lain jadi alat komunikasi kami. Saya hanya bisa tersenyum dan kagum dengan semangat mereka.
Trek menanjak sangat melahkan belum lagi tipisnya oksigen membuat
teman-teman kelelahan dengan cepat. Beberapa teman yang masih merasakan
penyakit ketinggian merasa pusing seperti ada batu menggayut di kepala.
Mereka tampak berjalan gontai dengan ransel bawaan yang berat.
Dina dan Nomang beristirahat untuk menormalkan kembali pernafasan dan
meneguk air membasahi tenggorokan. Trek menanjak di pintu angin adalah
satah satu trek terberat. Selain curam juga tidak mudah berjalan karena
kerikil dan batu yang mudah lepas. Saya melihat thermometer di jam saya
menunjukan suhu 8 derajat celsius. Udara terasa semakin dingin ketika
angin berhembus. Sinar matahari terhalang kabut tebal.
Setelah melalui tanjakan terjal pintu angin akhirnya kami bisa
bernafas lega karena trek tidak lagi menanjak terjal. Jalan mendatar
diselingi naik turun yang tidak berat. Pemandangan danau di kiri trek
cukup menghibur. Setelah berjalan selama lima jam akhirnya kami sampai
di Base Camp Induk Lembah Danau-Danau (4200 m dpl). Kami disambut
teman-teman Brimob dan welcome drink secangkir teh manis panas…..hmmm
nikmatnya.
Di base camp tampak berdiri tiga tenda dome dan flysheet untuk kami.
Tanpa membuang waktu saya memerintahkan teman-teman untukmembuka alat
komunikasi seperti antene outdoor, telepon satelite dan B-Gan alat untuk
mengirim gambar via satelit ke kantor di Jakarta. Selain tenda kami,
juga berdiri tenda-tenda lain dan dapur umum yang hangat…(gimana gak
hangat ada 4 kompor minyak yang lagi menyala).
Tidak ada yang kami lakukan selain mempersiapkan peralatan pendakian
gunung es dan aklimatisasi dengan hiking seputaran danau-danau, agar
badan semakin menyesuaikan diri dengan tipisnya oksigen di ketinggian.
Flying camp gletser di Puncak Jaya.
Mendaki gunung es
Pagi sekali kami sudah bangun dan kemudian sarapan. Pagi ini adalah
saat yang ditunggu. Kami akan mendaki hingga gletser Puncak Jaya.
Pendakian gunung es yang sesungguhnya akan kami lakukan.
Dody Johanjaya
Tanjakan terjal, pendakian yang berat.
Awal trek belum terlalu berat. Jalur tanah berkerikil membelah lembah batu, dengan tebing tinggi dan dingin di kiri kanan trek. Saya masih ingat tebing batu di sisi trek dulunya masih berselimut es dan salju ketika saya mendaki untuk pertama kalinya tahun 1989. Es semakin menyusut kini. Dulu hanya butuh waktu satu jam saja ke gletser. Sekarang diperkirakan akan memakan waktu sekitar lima jam-an. Trek semakin sulit ketika kami harus mendaki jalur kerikil dan batu yang licin. Bila tidak hati-hati bisa tergelincir dan terjun bebas ke jurang.
Setelah berjalan kira-kira 4,5 jam akhirnya kami sampai di gletser.
Tidak terkira wajah-wajah riang teman-teman. Mereka seperti orang ndeso
katro berhamburan memegang es dan salju….Benar-benar kampungan
hehehe….Kami tidak bisa berlama-lama menikmati pencapaian ini karena
tidak lama kemudian kabut turun. Angin dan hujan es juga datang. Ya,
betul es! Kena kepala bletuk…bletuk! Kami bergegas mendirikan tenda dan
flysheet.Untung kami sigap karena beberapa menit kemudian badai
melanda camp kami. Angin kencang sekali. Salju dan es menghantam tenda
kami tanpa ampun. Suhu menunjukan 0 derajat celcius! Kami tidur dalam
pelukan udara dingin yang beku.
Pukul 06.00 wit keesokan harinya kami terbangun. Suhu udara 3 derajat
celcius. Secangkir teh manis ditemani beberapa potong biscuit menjadi
sarapan pagi kami. Seusai sarapan kami mempersiapkan peralatan pendakian
es, seperti paku es (crampon) yang kami pasang di sepatu gunung kami,
kampak es (ice axe), tongkat es (Sky pol), tali, karabiner, harness dan
sebagainya.
Tebing es setinggi 40-an meter membentang dihadapan kami. Belum
apa-apa dingin yang dihembuskan angin dari tebing es itu menerpa wajah
kami. Rasanya seperti kalau kita membuka frezer hiiiii….pipi dan hidung
ini langsung disergap dingin yang menusuk.
Giri kami tunjuk sebagai pemanjat pertama (leader). Une mengamankan
Giri dengan seutas tali dari bawah. Semeter demi semester Giri menambah
ketinggian. Kampak esnya terdengar menancap di es yang keras disusul
kemudian tendangan cramoonnya di tebing es untuk memperkokoh posisi
berdiri.
Akhirnya Giri sampai di sebuah teras yang cukup aman untuk membuat
tambat pengaman. Tali pun diulur dan satu-demi satu pendaki lainnya
memanjat dengan menggunakan jummar. Pertama adalah Budi, kamerawan JP.
Budi perlu sampai lebih dulu di atas untuk mengambil gambar dari atas.
Setelah Budi, saya menyusul, lalu Dina dan terakhir Deni . Dina mencoba
memanjat es dengan cara ice climbing seperti Giri dengan diamankan oleh
tali. Setelah semua sampai di teras pemanjatan kami lakukan lagi satu
per satu.
Pfuih…. akhirnya kami sampai di hamparan es yang datar. Kami
membentangkan tali yang menghubungkan satu pendaki dengan pendaki
lainnya (moving together). Ini merupakan teknik berjalan di padang es
yang aman. Karena bisa saja salah satu pendaki terperosok ke jurang es.
Tali penghubung akan menahan pendaki tersebut.
Selangkah demi selangkah para pendaki menapaki es yang keras dan
dingin. Dina berusaha keras untuk tetap melangkah. Sesekali talinya
menegang ketika harus berhenti menarik nafas dan batuk karena sesak
nafas. Kabut dan salju yang turun menambah tebal padang es sehingga
memberatkan langkah kami. Udara dingin menerobos, winbreaker dan sweater
yang kami pakai, sarung tangan wol berlapis mitten pun hampir tidak
bisa menahan dingin, membuat jemari tangan kebas dan kaku, begitu juga
dengan jari kaki.
Saya perintahkan teman-teman untuk mempercepat langkah karena saya
khawatir kami akan terserang radang dingin (frostbite) apalagi angin
semakin kencang dan hujan salju semakin deras turun.
Langkah kami semakain berat karena salju tebal kami injak. Deni
tampak berjalan berhati-hati. Dia menusukkan kampak esnya mencari jalan
es yang keras. Sementara di sisi kami jurang es yang tidak berdasar
menganga siap menelan kami bulat-bulat. Detak jantung saya bedertak
kencang ketika Dina terjatuh karena gagal melompati parit es yang keras.
Untung tali menahan tubuhnya sehingga dia tidak meluncur jatuh ke
jurang. Dengan perlahan Dina berusaha bangkit dan kembali berjalan.
Setelah tiga jam berjuang akhirnya kami sampai di tempat teritinggi,
datar, terbuka dan tidak ada lagi gundukan es yang lebih
tinggi…….puncak! Kami sampai di puncak. Horeeeeeee….! Akhirnya sampai
juga perjuangan kami menempuh perjalanan 10 hari lamanya. Kami berdiri
di ketinggian 4.860 meter di atas permukaan laut. Kami pun bersorak dan
berangkulan gembira karena telah melalui ujian berat yang melelahkan.
Berkejaran dengan kabut yang turun dan angin yang semakin kencang,
kamipun berfoto-foto kemudian turun ke base camp di gletser. Terima
kasih Tuhan.
Sobat MakPles, Dody Johanjaya
Tim Jejak Petualang Trans7
Tim Jejak Petualang Trans7
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar